Saturday, June 9, 2012

Aku Menginginkan Disetubuhi Oleh Ayah Mertuaku

Berdiri di depan pintu rumahku, Mirna mendekatkan kepalaku ke arahnya dan berbisik di telingaku, "Ayah boleh mendapatkanku jika ingin."

Dia memberiku sebuah kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu berjalan menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Yoyok menempatkan bayinya pada dudukan bayi itu, dan seperti biasanya, terlalu jauh untuk mendengar apa yang dibisikkan istrinya terhadap ayahnya. Mirna melenggang di jalan itu dengan riangnya seperti seorang gadis remaja yang menggoda saja. Yoyok tak mengetahui ini juga, ini hanya untukku.

Mungkin kamu mengira aku terlalu mengada-ada soal ini, tapi nyatanya apa yang Mirna lakukan itu tidak hanya sekali saja. Dan sejak aku tak terlalu terkejut lagi, aku jauh dari rasa bosan soal itu. Aku merasa ada getaran pada penisku, dan pikiran yang wajar 'andaikan' berputar di benakku.

Mirna adalah seorang wanita yang mungil, tapi ukurannya itu tak mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya terlihat tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut hitam pekat yang dipotong sebahu, yang dengan alasan tertentu dia biasanya mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki energi dan keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Cantiklah kalau ingin mendeskripsikannya. Dia selalu sibuk, selalu terburu-buru tapi selalu kelihatan manis. Dia masuk dalam kehidupan kami sejak dua tahun lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga kami sekian lamanya.

Yoyok anakku bertemu dengannya saat dia masih di tahun pertamanya kuliah. Mirna baru saja lulus SMU, mendaftar di kampus yang sama dan ikut kegiatan penataran mahasiswa baru. Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai pengawas dalam kelompoknya Mirna. Seperti mereka bilang, cinta mereka adalah cinta pada pandangan pertama.

Mereka menikah di usia yang terbilang muda, Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun. Setahun kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian terasa sangat menyelimuti keluarga kami. Suasana waktu itu semakin mendekatkan kami semua. Mirna sangat jenaka, selalu tersenyum riang, dan juga menyukai bola. Dia sering menggoda Yoyok, mereka benar-benar pasangan serasi. Dia selalu menyemangatinya. Yoyok memerlukan itu.

Yoyok dan Mirna sering berkunjung kemari, membawa serta anak mereka. Mereka telah mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu besar. Aku pikir mereka merasa aku membutuhkan seorang teman, karena aku seorang tua yang akan merasa kesepian jika mereka tak sering berkunjung. Di samping itu, aku memang sendirian di rumah tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila berada di sini, dibandingkan rumah kontrakannya yang sempit.

Ibu Yoyok telah meninggal karena kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami. Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan dan kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sekedar patah hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita dalam hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok wanita. Tak terlalu.

Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan, Yoyok melanjutkan pendidikannya untuk gelar MBA, dan Mirna bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta. Kunjungan mereka padaku tak berubah sedikit pun, cuma bedanya sekarang mereka sering membawa beberapa bingkisan juga. Tentu saja, di samping itu juga perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.

Beberapa bulan lalu Mirna dan bayi mereka datang saat Yoyok masih di kelasnya. Dia duduk disana menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berusaha untuk menidurkan bayinya. Aku tak tahu bagaimana, tapi pemandangan itu entah bagaimana menggelitik kehidupan seksualku.

"Jadi, ayah, kapan ayah akan segera menikah lagi?" dia bertanya dengan getaran pada suaranya.


"Aku tak tahu. Aku kelihatannya belum terlalu membutuhkan kehadiran seorang wanita dalam hidupku. Lagipula, aku telah memiliki kalian yang menemaniku."


"Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang bicara soal seks." matanya mengedip ke arahku saat dia bicara.


"Apa?"


"Ayah tahu, seks." dia hampir saja tertawa sekarang.


"Saat pria dan wanita telah telanjang dan memainkan bagiannya masing-masing?"


"Ya, aku tahu seks," aku membela diri.


"Lagipula kamu pikir darimana suamimu berasal?"


"Yah, aku hanya khawatir ayah sudah melupakannya. Maksudku, apa ayah tak merindukannya?"


"Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk hal seperti itu."


"Hei! Pria tak pernah bosan dengan hal itu. Setidaknya begitulah dengan puteramu."


"Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia mempunyai seorang isteri yang cantik."


"Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap ayah membutuhkannya," dia menekankan suaranya pada kata 'ayah'.


"Terima kasih sudah ngobrol," kataku, masih terdengar sengit.

Ada sedikit jeda pada perbincangan itu, saat dia masih menekan kehidupan seksualku. Aku pikir bukanlah urusannya untuk mencampuri hal itu meskipun kadang aku membayangkannya juga. Dia pandang bayinya, yang akhirnya tertidur, dan memberinya sebuah senyuman rahasia, sepertinya mereka berdua akan berbagi sebuah rahasia besar. Masih memandangnya, tapi dia berbicara padaku..

"Ayah boleh memilikiku jika ayah menginginkanku."


"Apa!!?"


"Aku serius." Mirna menatapku.


"Ayah boleh memilikiku. Ayah adalah seorang pria yang tampan. Ayah membutuhkan seks. Di samping itu, aku bersedia, kan?"

Aku pikir dia sedang bercanda. Tapi wanita yang menggoda ini tidak sedang main-main. Tapi tetap saja tak mungkin aku melakukannya dengan isteri dari anakku.

"Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir aku akan menolaknya." suaraku terdengar penuh dengan keraguan saat mengucapkannya.

Mirna mencibirkan bibir bawahnya, aku tak bisa menduga apa yang sedang dirasakannya. Dia tetap terlihat menawan, dan aku merasa Yoyok sangat beruntung. Dia bicara dengan pelan..

"Lihatlah, Yoyok tak akan tahu. Maksudku, aku tak akan mengatakannya kalau ayah juga begitu. Dan bukannya aku menawarkan diriku pada setiap lelaki yang kutemui. Aku bukan wanita seperti itu dan aku bisa mengatur untuk sering berkunjung kemari. Dan aku tahu ayah menganggapku cukup menggoda, kan, sebab aku sering melihat ayah memandangi pantatku."

Aku tak mungkin menyangkalnya. Mirna mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia memiliki bongkahan pantat yang indah di atas kedua kakinya.

"Ya, pantatmu memang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku ingin berselingkuh dengan menantuku sendiri." Dia berhenti sejenak, tapi Mirna tak akan menyerah begitu saja.


"Yah, tapi jangan lupa, Ayah boleh mendapatkanku jika ingin."

Dan itulah awal dari semua ini..

Seiring minggu yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu menggodaku, membuat puting susunya menyentuh dadaku saat dia menyerahkan bayinya padaku. Atau dia masukkan jarinya di mulutnya saat Yoyok tak melihat, dan menghisapnya dengan pandangan penuh kenikmatan padaku. Suatu waktu dia duduk di lantai dengan kaki menyilang dan sedang bermain dengan bayinya, dia memandangku tepat di mata, tersenyum, dan menyentuh pangkal pahanya di balik celana jeansnya. Aku tak akan melupakan itu. Dan dia entah bagaimana selalu menemukan cara untuk berduaan denganku walaupun sesaat, dan dia memberiku ciuman singkat yang penuh gairah, tepat di bibir. Itu semua dilakukannya berulang-ulang.

"Ayah boleh mendapatkanku jika ingin," dia berbisik di belakang Yoyok saat suaminya itu sedang memasukkan DVD pada player.


"Ayah boleh mendapatkanku jika ingin," dia berbisik saat mendekat untuk menyodorkan minuman padaku.


"Ayah boleh mendapatkanku jika ingin," dan dia selalu kembali membisikkannya setiap kali dia berpamitan.

Sekarang, aku bukanlah terbuat dari batu, dan aku tak akan bilang tingkah lakunya itu tidak memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat manis dan mungil, dan melahirkan bayinya tak membuatnya berubah seperti kebanyakan wanita. Dia tetap langsing, dan manis, dan dia menawarkan dirinya untuk kumiliki. Tapi aku tak akan memulai tidur dengan menantuku sendiri, tak peduli semudah apapun itu. Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada diriku sendiri.

Beberapa minggu yang lalu kami semua berkumpul di rumahku untuk melihat pertandingan bola. Aku mengambil beberapa kaleng minuman dan sedang berada di dapur untuk menyiapkan beberapa makanan ringan saat Mirna muncul dari balik pintu itu.

"Hai!" sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur.


"Ayah sudah siap untuk pertandingan nanti?"


"Hampir. Aku sedang membuat makanan untuk keluarga besar kita, dan aku punya beberapa wortel untuk cucuku. Aku pikir dia akan suka dan warnanya sama dengan kesebelasan yang akan bertanding nanti, kan?"


"Aku pikir dia tak akan peduli. Di samping itu bukankah ada hal lebih baik yang bisa ayah kerjakan untukku?" Mirna tertawa.


"Jangan menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan lakukan apa yang menurutku akan disukai oleh cucuku."

Aku memandangnya. Mirna berdiri di sana memakai bandana merah kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu. Dia memakai kaos yang sedikit ketat yang tak sampai ke pinggangnya, dan pusarnya mengedip padaku di balik kaosnya. Kancing jeansnya membuatnya kelihatan seperti anak-anak di era bunga tahun 60-an, dan dia memakai sandal dengan bagian bawah yang tebal yang mana menjadikannya lebih tinggi tiga inchi. Kuku kakinya dicat merah senada dengan lipstiknya, dan itu menjadi mencolok dengan sangat menarik di balik denimnya.

Dia selalu suka mengenakan perhiasan, dan dia memakainya pada leher, telinga, pergelangan tangan dan bahkan di jari kakinya. Dia membuatku berandai-andai jika saja aku masih remaja, jadi aku dapat memacari gadis sepertinya. Mungkin suatu waktu nanti aku harus pergi ke kampus dan mencari gadis-gadis. Khayalanku terhenti saat menyadari kalau Yoyok dan bayinya ternyata tidak mengikutinya masuk.

No comments:

Post a Comment