“Terkadang, nyawa manusia seakan tidak ada harganya. Jika mati terkena longsor di lubang galian tambang, ya sudah dikubur aja sekalian. Terkecuali jika ada keluarga yang memaksa ingin membawa jasadnya pulang.”
Ontang berkata dengan tegas. perkataan itu membuatku mengurungkan niat untuk bekerja di tambang emas. Beberapa hari yang lalu aku memang berniat untuk pergi ke Dumoga, bersama dengan beberapa temanku untuk bekerja di tambang liar.
Ontang sudah cukup tua, kata ayahku dia memiliki anak yang berumur lebih tua dariku. Tapi kedua anaknya tidak pernah kelihatan lagi di desa kami. Aku dan orang orang disini bisa memanggilnya Ontang, karena dia selalu menolak jika dipanggil Om, apalagi Opa. Dia ingin semua orang memanggilnya dengan nama Ontang saja.
Dulu, Ontang adalah orang yang paling disegani di desa ini. Aku masih bisa mengingat semasa aku sekolah dasar, dia adalah orang terkaya di desa ini. Mobilnya adalah keluaran terbaru yang hanya satu-satunya di desa ini. Rumahnya sangat besar dengan para pekerja yang banyak. Orang yang mengawasi anak-anaknya, tukang kebun, juru masak atau ada juga orang yang hanya sekedar menjaga rumah saja, tatanggaku juga ada yang bekerja mencuci pakaian di rumah Ontang dulu.
Aku kurang mengetahui aktivitas apa yang dilakukan di rumah Ontang pada waktu itu, karena jarang sekali masuk ke rumahnya. Walaupun banyak sekali temanku yang sering mengajak datang kesana. Selain belum pernah datang, ayahku juga suka melarang jika aku berniat datang ke rumah Ontang.
Tapi sekarang aku sudah mengetahui, mereka yang datang kesana itu biasanya untuk meminta uang. Ontang memang tidak pernah pelit untuk meminjamkan dan memberikan sebagian uangnya. Mungkin karena itulah, hingga saat ini biasanya ada saja orang yang memberikan keperluan Ontang sehari-hari.
Berbeda dengan dulu waktu aku masih kecil. Ontang yang dulu kaya raya itu, kini menjadi orang yang sangat sederhana. Bahkan rumahnya saja lebih besar dari rumahku. Selain itu, kesehariannya juga terlihat memprihatinkan, pakaian dia banyak yang sudah kusam. Selain itu, dia kini tinggal sendiri saja, tidak ada lagi orang yang sering berkumpul di rumahnya. Justru kini akulah yang sering datang ke rumahnya.
Sekarang, Ontang berada di hadapanku. Dirumahnya yang sederhana ini aku merasa sangat kasihan, tumpukan pakaian yang belum disetrika terlihat bersama beberapa barang di bawah kursi. Mungkin juga itu adalah pakaian yang belum di cuci. Pintu rumahnya sudah tidak bisa dikunci lagi, tapi Ontang memang tidak pernah mengunci rumahnya. Dia juga tidak takut ada pencuri yang datang, karena di rumahnya memang tidak ada barang yang berharga lagi.
Terkadang aku memang suka menginap di rumah Ontang. Jika aku sedang malas tidur dirumah atau belum mengantuk, aku selalu datang ke rumah Ini, biasanya Ontang sering terjaga hingga larut malam. Ataupun jika dia sudah tidur, aku langsung masuk saja dan tidur di kursi panjang yang kulitnya sudah sobek itu, Dan itulah satu-satunya kursi di rumah Ontang.
Seperti malam ini, aku sengaja membawa kopi dan cemilan untuk mengobrol di rumah Ontang. Aku suka mengobrol dengannya, karena dia memiliki cerita masa lalu yang beraneka ragam. Pengalaman dan ceritanya seakan tidak pernah habis, walaupun sering sekali di mengisahkan cerita uniknya kepadaku.
Satu hal yang bisa membuatku salut kepadanya. Dia tidak pernah mengeluh dengan keadaannya saat ini, segala kekurangnnya tidak membuat dia lelah untuk tersenyum. Padahal dia pernah mengalami kemewahan yang luar biasa. Mungkin hingga saat ini, di desaku belum ada orang yang kaya melebihi kekayaan Ontang dulu.
***
“Hidup itu seperti roda yang berputar, terkadang diatas dan tidak bisa ditolak ketika sedang berada di bawah. Karena itulah kehidupan, tidak ada yang bisa tetap pada sebuah keadaan“
Ontang berkata perlahan setelah meniup kopi panasnya. Setelah berkata itu, dia kemudian meminum kopinya dengan suaranya yang khas, itu membuatku senang. Ontang sepertinya menikmati sekali kopi buatanku itu. Dia menyimpan kopinya di samping bawah kursi yang di dudukinya. Sama sepertiku yang menyimpan kopi itu di bawah sebelah kanan karna tidak ada meja di rumah Ontang.
“Jika kamu ingin kaya, itu salah dan aku melarangnya. Apalagi dengan cara bekerja di tambang emas. Aku melarangnya karena aku mengalaminya sediri. Dulu waktu masih seumuran kamu seperti ini“
Aku hanya diam dan mendengarkan dengan serius. Ontang sepertinya sedang mengumpulkan kenangan masa lalu, dia biasanya bercerita dengan beberapa senyuman. Tapi jika raut wajahnya serius seperti ini, setahuku dia sedang ingin memberikan nasihat dengan cerita-ceritanya itu.
“Kamu belum tahu kan, kenapa tanganku seperti ini?”
Ontang berkata sambil menunjukkan tangan kananya. Di bagian punggung tangannya itu memang ada garis panjang pertanda luka dan jahitan. Panjangnya sekitar setengah jengkal tanganku. Ontang sudah tidak bisa mengepal dengan tangan kanannya itu. Aku memang sudah lama mengetahui bekas luka itu, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya.
“Ini adalah saksi begitu kerasnya kehidupan di tambang liar”
Setelah Ontang menambahkan kata itu, kemudian dia membuka kemejanya. Ketika beberapa kancingnya terbuka, aku dikagetkan dengan garisan bekas jahitan di dadanya. Keriput dan beberapa gambar tato yang tidak jelas itu tidak bisa menutupi pandanganku, sepertinya itu gambar batik atau… entahlah, karena yang paling jelas terlihat adalah bekas jahitan yang sangat banyak. Rupanya di bagian perut juga terdapat bekas jahitan, aku semakin terkejut ketika Ontang memperlihatkan bekas luka di punggungnya.
“Aku juga heran, kenapa masih bisa hidup sampai saat ini. Kamu tahu sendiri kan, sudah dua pamanmu yang mati di tambang. Memang sudah banyak yang mati bahkan hilang tanpa bangkainya. Jadi untuk apa kamu mau bekerja di sana?”
“Tapi.. aku hanya ingin mengumpulkan modal untuk…..”
“Tidak!..”
Ontang memotong perkataanku. Dia memakai lagi kemejanya, aku terdiam dengan nada Ontang yang naik dua oktav itu. Sepertinya ontang melarang sekali niatku untuk pergi ke tambang emas. setelah selesai memakai kemejanya dia terlihat bersiap lagi berbicara.
“Dulu, aku juga sama. Berfikiran ingin mengumpulkan modal dari tambang. Untuk berjualan atau usaha apa saja. Tapi setelah mengalami mendapatkan uang banyak dengan cara singkat. Aku tidak tertarik lagi berusaha apapun. Dan itu bukan dialamu olehlu saja, lihatlah orang orang yang bekerja di tambang sekarang. Mereka semuanya bermalas-malasan dan menghamburkan uang saja. Jika sudah habis uangnya, mereka baru bekerja lagi.”
Ontang terdiam sejenak, dia mengambil kopinya perlahan. Tidak perlu meniup lagi sekarang dia langsung meminumnya dengan suara yang khas seperti tadi. Aku masih diam menunggu Ontang yang akan melanjutkan ceritanya.
“Kamu tahu, jika ada perempuan yang sedang menambang, kamu boleh mencolek, menyentuh bahkan menciumnya. Tapi jangan sekali kali kamu mencoba menyentuh lahan galiannya. Karena itu bisa berakibat perkelahian, hingga bisa menjadi ajang saling bunuh..”
“Ada perempuan yang ikut menambang juga?”
Aku memotong perkataan Ontang dengan pertanyaan itu. Karena aku sangat penasaran, ternyata ada juga perempuan yang bekerja di tambang. Ontang menatapku dengan tajam, kemudian dia melanjutkan lagi ceritanya.
“Tidak banyak memang perempuan yang berkerja disana. Jika adapun, biasanya janda yang sudah tidak bisa disebut cantik lagi. Bisa juga perempuan yang ikut suami atau pacarnya. Jika ada yang masih sendiri dan cukup cantik, mereka terkadang memilih menjadi pelayan nafsu lelaki saja. Karena dihutan, mereka akan mendapat bayaran yang berlipat ganda. bayarannya juga menggunakan emas murni, bukan uang. Itu lebih mengurangi resiko daripada harus bekerja mencari emas.”
Aku dan Ontang terdiam beberapa saat. Banyak yang ingin aku tanyakan, namun sepertinya Ontang masih ingin melanjutkan ceritanya.
“Satu hal yang aku banggakan menjadi penambang. Kami tidak pernah membawa masalah hingga keluar area tambang. Jika ada perkelahian disana, maka mesti dihabiskan perkara itu disana juga. Sesama penambang sudah saling mengerti, bahwa kami lebih baik berkelahi hingga mati disana, tapi ketika bertemu di luar. Kami seolah tidak saling mengenal saja.”
“Kenapa disana bisa sering terjadi perkelahian?”
“Hmm… Di tambang itu, tidak semua orang memiliki lubang galian. Misalkan nih di tanah ini terdapat lubang yang bagus, kadar emasnya tinggi, maka lubang itu akan menjadi rebutan. Biasanya lubang itu diolah oleh beberapa kelompok. Tiap kelompok mempunyai batasan waktu tertentu, selama itu kelompok yang lain menunggu. Tapi terkadang, secara tiba-tiba ada kelompok yang baru datang dan membawa kekuatan yang lebih besar. Mereka ingin mendapatkan jatah galian dengan menyerobot antrian. ketika itulah, tak jarang darah dan luka-luka itu menjadi hal yang biasa. Hingga kematian pun bukan hal yang aneh disana”
Ontang berkata dengan menunjuk ke arah lantai, tergambar di benakku sebuah lobang dengan beberapa orang yang sibuk mengolah tanah. Hingga terbayang juga perkelahian dan mayat dengan luka bacokan senjata tajam. Aku merinding ketika membayangkan luka luka di tubuh Ontang itu masih bercucuran darah.
Mungkin itulah yang membuat Ontang bersikeras agar aku tidak bekerja di tambang. Ontang memang selalu mengajarkanku untuk berusaha dan bekerja keras, tapi ketika aku berniat bekerja di tambang. Dia melarangnya dengan sangat tegas.
“Aku sudah pernah merasakan kehidupan yang mewah, mungkin kamu tidak tahu bagaimana kekayaanku waktu dulu, karena di kampung ini, hanya keluargamu saja yang tidak pernah datang ke rumahku. Oleh karena itu, sekarang aku hanya bisa berbagi cerita saja denganmu.”
Aku tersenyum mendengar kata itu. Aku memang tidak mengetahui secara langsung kekayaan Ontang dulu. Tapi aku merasa senang bisa mendengar kisahnya. Banyak yang aku bisa ambil pelajaran dari cerita masa lalunya.
***
Bersambung
Bersambung
No comments:
Post a Comment