Thursday, August 30, 2012

Lailatul Qadar: Dan Pepohonanpun Bersujud



Terima kasih ya Alloh, kau telah berikan hidayah ini kepadaku. Meski mungkin terlambat, tapi aku bersyukur bisa menikmati nikmatnya ibadah kepadamu. Terimalah segala keterbatasanku ini, dan jadikan aku bersama golongan orang-orang yang beriman…”
“Pak!.. Ayo kita ke rumah saya dulu!”
Suara itu membuat dia yang sedang duduk di masjid itu menoleh. Kemudian dia tersenyum sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sepertinya dia sedang berdoa, sebelum doanya tersebut terhenti oleh sapaan seseorang yang ada di sampingnya tersebut.
“Tadi kan baru minum dan makan cemilan saja. Ayo sekarang kita makan nasi dulu di rumah!”
Ajak pria yang tadi menegurnya. Tanpa ada kata dari keduanya, merekapun langsung menuju keluar masjid. Kemudian mereka berjalan menuju ke sebuah rumah yang tidak terlalu jauh di samping masjid tersebut. Pria yang di tegur tadi berjalan perlahan di belakang yang mengajaknya.
“Saya malu Pak Haji, sudah beberapa hari ini merepotkan Pak Haji terus” ucapnya membuka obrolan sambil berjalan.
“Merepotkan apa? Justru saya senang. Sejak bapak disini, masjidnya jadi lebih bersih. Karena bapak selalu membersihkannya setiap hari. Nah kita sudah sampai, ayo kita langsung menuju ke meja makan saja pak. Kita makan bersama hari ini. Kebetulan anak anak juga sudah datang dari kota. Mereka ingin makan bersama bapak”
Setelah membuka pintu dan mengucap salam. Mereka berdua kemudian disambut keluarga pak haji. Anak dan istrinya dengan tersenyum mempersilahkan mereka duduk di meja makan. Tanpa menunggu lama, pak haji mulai membaca doa dan kemudian mereka bersiap untuk makan.
***
“Begini Pak Haji. Saya sudah berniat ingin menghibahkan seluruh tanah dan kekayaan saya untuk pesantren ini. Tapi ijinkan saya untuk terus tinggal di masjid ini. Rasanya saya sudah betah dan ingin di sini saja sampai… sampai…”
“Sampai kapan? Lho terus gimana dengan keluarga bapak?”
Pak haji memotong pembicaraan pria yang ada di depannya itu. Sementara itu, anak dan istri pak haji sedang sibuk membereskan piring dan makanan sisa mereka makan tadi. Pria tersebut kini menunduk dan menyiapkan lagi kata katanya yang terpotong tadi.
“Saya ingin di masjid ini saja Pak Haji. Sampai saya meninggal…”
Mendengar perkataan itu, pak haji terdiam. Dengan tajam dia menatap ke arah pria itu. terlihat kepasrahan dan ketulusan dari sikapnya berbicara. Tubuhnya yang agak membungkuk karena kecelakaan itu sepertinya telah memberikan sebuah guncangan yang hebat. Pak haji sendiri mengetahui, bahwa sebelumnya pria yang di hadapannya ini tidak seperti itu.
“Keluarga saya kan sudah meninggal semua Pak Haji. Dan justru pada saat itulah saya diberikan sebuah peringatan. Karena pada saat koma itu, saya seolah bermimpi melihat sebuah kumpulan orang orang yang sedang di siksa. Saat itulah saya menyimpulkan, mungkin itulah neraka yang disebut sebut itu. Dan saya melihat… semua keluarga saya ada di sana Pak Haji. Dan…”
Belum selesai berbicara, pria itu kemudian menangis perlahan. Dia mengingat sesuatu yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Pak haji hanya diam, dia sepertinya ingin berkata sesuatu. tapi menunggu saat pria itu berhenti menangis.
“Subhanallah… Mungkin itulah yang membuat Pak Khus sekarang gemar sekali tinggal di masjid ini. Bersyukurlah Pak! Itulah sebuah pertanda bahwa Pak Khus disayang dan diperhatikan Alloh dengan penggambaran pada saat bapak koma itu”
“Oh iya Pak. Kebetulan tadi anak saya bawa peci baru. Dan saya melihat sepertinya ini lebih cocok buat pak Khus. Karena yang Pak Khus pakai sekarang terlalu besar. Cobalah pak, in pasti lebih nyaman dipakainya.”
Pak haji kemudian menyodorkan sebuah kotak berisi peci baru kepada pak Khus. Perlahan pak Khus menerima dan membukanya, kemudian dia membuak peci yang dikenakannya. Dan dia sepertinya merasa nyaman sekali dengan peci yang baru di terimanya. Karena ukurannya pas, tidak seperti  sebelumnya  yang menggunakan ukuran terlalu besar.
“Waah terima kasih banyak ini Pak Haji. Ini lebih cocok ukurannya.”
Pak Khus tersenyum. Pak haji juga terlihat senang karena pak Khus menyukai peci barunya. Mereka kemudian mengobrol sebentar, sebelum akhirnya pak Khus berpamitan untuk mengambil wudu, karena dia ingin beri’tikaf   di masjid.
***
“Lho kok pakai peci itu lagi Pak Khus?”
Pak haji bertanya ketika mereka selesai Shalat Dhuha. Pak Khus memang mengenakan peci yang pertamanya lagi. Peci yang terlihat longgar di kepalanya. Pak Khus kemudian membuka pecinya dan melihat pak haji dengan perasaan bersalah.
“Itulah Pak Haji. Saya mengalami keanehan tadi malam. Karena cuaca rasanya sangat tenang dan tidak ada hujan ataupun angin. Tapi ketika saya berwudu banyak sekali pepohonan yang roboh. Hingga saya sulit untuk berjalan ke sungai tempat wudu”
“Lho! Terus Pak Khus wudu dimana? Kan saya juga sudah nawarin untuk wudu di rumah saya saja”
“Saya tetap wudu di tempat biasa Pak Haji. Nah tepat di samping saya berwudu itulah ada pucuk pepohonan yang roboh itu. Saya simpan peci saya disana, tapi saya lupa. Dan baru ingat peci saya disimpan disana ketika sudah sampai di masjid…”
“Sudah dicari lagi ke sana Pak Khus?” Pak haji memotong perkataan pak Khus.
Mendengar pertanyaan itu, pak Khus sepertinya merasa kebingungan. Dia terdiam beberapa saat, seperti mengingat kembali apa yang telah dialaminya tadi malam. Kemudian dia berkata dengan nada nada yang ragu.
“Hmm.. Itulah Pak Haji. Saya juga aneh, karena ketika tadi pagi saya kesana ketika sudah terang. Ternyata tidak ada satupun pepohonan yang tumbang. Bahkan saya tanya kepada beberapa santri yang tadi subuh berwudu disana, memang tidak ada pohon yang roboh katanya”
“Apa!?…”
Pak haji terlihat kaget dengan perkataan pak Khus tersebut. Kemudian dengen segera dia mengajak pak Khus untuk kembali ke tempat wudu yang biasa di gunakan santrinya. Tempatnya adalah dekat sungai yang mengalirkan air sangat jernih. Sekitar sepuluh menit dari masjid tersebut.
Mereka berdua berjalan. Pak haji di depan berjalan dengan tergesa. Sementara itu pak Khus terlihat hampir kewalahan  mengimbangi kecepatan berjalannya. Karena pak Khus sudah tidak bisa berjalan dengan normal. Kaki kanannya tidak bisa ditekuk sejak kecelakaan yang membuatnya koma tersebut.  Sehingga dia berjalan dengan tertatih-tatih.
Sesampainya di tempat wudu tersebut. Pak haji terdiam dan memandang ke sekelilingnya berdiri. Pak Khus terlihat heran dengan sikap pak haji tersebut. disana memang terlihat beberapa helai daun pohon yang masih hijau. tapi tidak ada satupun pohon yang roboh disana. Pak haji terus melihat kesekililingnya kemudian dia melihat ke arah pepohonan. Tiba tiba…
“Subhanallah!….” Pak haji berkata spontan. Kemudian dia bersujud.
Melihat itu, pak Khus keheranan. Dia tidak mengerti dengan apa yang dilakukan pak haji. dia hanya diam dan melihat saja. Pak Khus kemudian melihat ke sekelilingnya, tapi tidak ada yang aneh. Sehingga dia hanya diam dan menunggu pak haji saja yang menjelaskan semuanya.
“Ada apa Pak Haji?”
Pak Khus bertanya dengan ragu. Setelah melihat pak haji bangun dari sujudnya. Pak haji tidak langsung menjawab, dia hanya melihat tajam ke arah pak Khus, kemudian dia mengatur nafas. Dengan senyuman dan nafas yang teratur, pak haji berkata perlahan.
“Subhanalloh… bersyukurlah Pak Khus. Mungkin bapak telah diperlihatkan dengan salah satu keajaiban lagi…”
“Maksud Pak Haji? Keajaiban apa pak?” Pak Khus bertanya dengan sangat penasaran.
“Hmm… Dulu saya pernah mendengar dari kakek saya. Bahwa sesekali pepohonan di sekitar sini bersujud pada saat malam yang diyakini kakek saya sebagai malam Lailatul Qadar. Dan sekarang mungkin Pak Khus yang bisa menyaksikannya kembali…”
“Maksudnya? Saya semakin tidak mengerti nih Pak”
“Lihatlah ke pucuk pohon itu…”
Pak haji berkata sambil menunjuk ke arah pucuk pohon yang tidak begitu dari tempatnya berdiri. Pak Khus kemudian melihat ke arah atas dimana pak haji menunjukkan jari kanannya tersebut. Dan begitu terkejutnya dia, karena disana terlihat peci baru yang semalam diberikan oleh pak haji.
“Sepertinya, semalam pepohonan yang roboh itu adalah pohon yang sedang bersujud Pak Khus. Dan buktinya ketika bapak menyimpan peci di pepohonan yang roboh itu, sekarang peci bapak berada di atas sana…”
Entah apa yang mendorongnya. Karena belum sempat pak haji meneruskan kata-katanya. Pak Khus langsung bersujud sambil meneteskan air mata.
***O***
jakarta, 10 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment